Handrawan Nadesul
Adrian White dari Universitas
Leicester bikin survei belum lama ini, bangsa apa paling bahagia di dunia.
Hasilnya bukan dari negara terkaya, melainkan bangsa Denmark. Bukti bahwa tidak
semua bisa dibeli dengan uang. Indonesia termangu di urutan ke-64.
Survei lain satu dasawarsa lalu
menyimpulkan pesan yang sama. Kebahagiaan orang di dunia tidak bertambah secara
signifikan sejak tahun 1950. Kemajuan teknologi, ekonomi, dan fasilitas dunia
ternyata tidak menambah kebahagiaan orang. Lalu apa?
Rasa bersyukur. Orang Denmark
gampang bersyukur, menikmati hidup tanpa perlu berkelimpahan, hidup secukupnya
(contentment), serta merasa tak perlu diperbudak kesuksesan. Kenapa Denmark
bisa begitu?
Di Denmark pendidikan dan kesehatan
gratis, hari tua terjamin, ditunjang filosofi hidup tak perlu ngoyo. Lain dari
itu tingkat pengharapan (ekspektasi) orang Denmark rendah. Kesuksesan kecil
saja sudah bikin mereka bahagia. Apabila gagal, mereka pun masih berbesar hati
untuk bangkit lagi.
Itu berarti tingkat stres hidup
orang Denmark minimal. Berbeda dengan seorang atlet nasional kita, yang kita
kira sangat sehat, tercatat kena serangan jantung juga. Musababnya faktor
stres. Pembuluh koroner jantung bisa saja menguncup (coronary spasm) kalau
stres merundung.
Stres merusak badan, selain
merongrong kebahagiaan. Sebagian besar penyakit orang sekarang, stres
pemicunya. Jiwa yang gundah dihibahkan ke bentuk penderitaan badan
(pscychosomatic). Hidup yang salah arah dan keliru pula menempuhnya menambah
pikulan stres kebanyakan orang sekarang.
Paradoks ”n-Ach”
Pada awal modernisasi kemajuan suatu
bangsa ditentukan oleh spirit need-for-achievement (”virus jiwa n-Ach”). Jiwa
bangsa-bangsa yang tak pernah merasa puas lebih laju akselerasi pembangunannya.
Semua bangsa berlomba ingin lebih maju. Bangsa Troya dulu, dan bangsa Jepang
sekarang, contohnya. Spirit tak pernah puas tersebut pokok pesatnya lonjakan
ekonomi bangsa.
Namun, kini terbukti, bangsa yang
didikte oleh keinginan dan ambisi tinggi tidak lebih berbahagia dari bangsa
yang mendahulukan rasa bersyukur dan hidup secukupnya. Hal itu karena betul tak
ada batas tertinggi buat kepuasan. Sayang hanya seperempat responden dunia yang
meniscayai itu.
Dengan mengukur satisfaction with
life index, kebahagiaan bangsa Jepang hanya di urutan ke-90 dunia. Negara kecil
dan tak terlalu kaya, seperti Bahama, Swedia, Malta, Kosta Rika, dan Butan,
termasuk 20 besar dunia dalam kebahagiaan bangsanya. Hidup juga perlu enjoy.
Survei kebahagiaan yang memakai data
WHO, UNESCO, CIA, dan New Economic Foundation tersebut diukur dari kepuasan
subyektif bangsa terhadap kesehatan, pendidikan, dan kekayaan relatif, selain
tingkat pengharapan terhadap hidup. Makin rendah ekspektasi suatu bangsa, makin
gampang tumbuh rasa bersyukurnya dan terangkat rasa bahagianya. Sebaliknya,
makin tinggi ekspektasi bangsa, makin sering tidak puas dan menjadi kurang
bahagia.
Kita melihat bagaimana orang Jepang
berjalan kaki seperti dikejar hantu. Mereka rata-rata gila kerja dan tinggi
ekspektasi dalam hidupnya. Begitu juga orang Korsel, China, dan Thailand, yang
derajat kebahagiaannya masing-masing di urutan ke-102, ke-82, dan ke-76 saja.
Tingkat pengejaran prestasi tanpa henti bangsa berbanding terbalik dengan
tingkat perolehan kebahagiaan hidup.
Banyak uang tak bahagia
Filosofi orang banyak yang salah
kaprah. Rata-rata orangtua membawa anak bersekolah dengan tujuan menjadi mesin
pencetak uang semata. Kesuksesan hidup dibahasakan dengan uang.
Sejatinya uang betul penting. Tapi,
bukan uang yang menambah kebahagiaan. Orang Denmark melihat kesuksesan hidup
penting. Tapi, menikmati hidup, guyub bersama keluarga, dan teman dijadikan
nilai utama. Supaya lebih berbahagia, ke situ patutnya arah hidup perlu dibawa.
Karena kesuksesan kebanyakan orang
ditakar dengan uang dan harta, orang terjebak banting tulang demi uang dan
harta semata. Uang, harta, dan kuasa berlimpah, tapi merasa tidak bahagia
sering karena tak menyukai bidang pekerjaan. Rata-rata orangtua dan universitas
sekarang telanjur keliru mengantar anak memetik kebahagiaan.
Orang bisa membeli ranjang emas,
bukan tidur. Bisa membeli seks, bukan cinta. Bisa membeli obat, bukan
kesehatan. Jadi benar adanya paradigma pendidikan mesti diputar agar para
lulusannya bekerja hanya di profesi yang betul dicintai. Itu juga sebabnya uji
motivasi masuk universitas sekarang dipandang penting menyeleksi agar kelak
calon profesional tidak meraih kesuksesan yang semu. Banyak duit, tetapi tidak
berbahagia.
Universitas di negara maju sekarang
menerima mahasiswa tidak semata melihat prestasi akademis. Calon mahasiswa
pintar katanya banyak. Namun, yang bakal menjadi profesional sejati makin
sedikit. Hanya karena bila mencintai bidang pekerjaan, kesuksesan sejati dan
produktivitas buat negara akan terpetik.
Pintar saja tak cukup. Sekarang anak
perlu pintar plus. Beberapa jenis kecerdasan belum tentu diperoleh di sekolah.
Ada jenis kecerdasan yang tak bisa dipelajarim tetapi berkembang sendirinya
bila anak tidak kutu buku. Kelebihan tacit knowledge seperti itu yang tidak
semua anak miliki. Menyimpan kecerdasan mampu meraih kebahagiaan, salah
satunya.
Kekayaan negara bukan segalanya.
Gandrung terhadap American Dreams konon yang bikin kebahagiaan bangsa Amerika
yang kaya-raya cuma di urutan ke-23. Melihat hasil survei di atas tak susah
bikin bangsa bahagia.
Buat kita, supaya bisa sebahagia
orang Denmark, sekurang-kurangnya negara harus cukup memberi pendidikan dan
kesehatan, selain jaminan hari tua. Sekolah wajib mendidik anak mudah merasa
bersyukur dan meniscayai bahwa tidak ada batas tertinggi dalam hal kepuasan
hidup, selain meniscayai bahwa uang tidak bisa membeli apa saja. Tidak juga
mampu menebus kebahagiaan dalam hidup.
Oleh : Handrawan Nadesul
Dokter, Pengasuh Rubrik Kesehatan,
dan Penulis Buku.
KOMPAS, Sabtu, 12 Desember 2009
No comments:
Post a Comment